Pendaftaran Anggota

Tionghoa Indonesia Muda membuka pendaftaran bagi para permuda Tionghoa berusia max. 40 tahun untuk bergabung. Organisasi kepemudaan Tionghoa-Indonesia ini memiliki aktifitas kajian politik sebagai ekspresi sumbangsih pemikiran untuk mensejahterakan seluruh rakyat.

Hubungi email: zengcdt@yahoo.com dan nikeee_nelson_08@hotmail.com atau hubungi 0815-9420309 jika anda berniat untuk bergabung.

STRUKTUR ORGANISASI

Struktur Tionghoa Indonesia Muda (T.I.M) di bagi ke dalam beberapa jenjang tingkat:

1. Pengurus Pusat
2. Kordinator Wilayah
3. Pengurus Provinsi
4. Pengurus Kabupaten/Kota

Kordinator Wilayah dibagi menjadi:
1. Kordinator Wilayah 1 (Sumatera)
2. Kordinator Wilayah 2 (Jawa)
3. Kordinator Wilayah 3 (Kalimantan)
4. Kordinator Wilayah 4 (Sulawesi)
5. Kordinator Wilayah 5 (Indonesia Timur)

Ketua Persiapan Deklarasi saat ini dipegang oleh Isyak Meirobie alias Lie That Tjhin

Wednesday, December 3, 2008

URECA Memainkan Peranan dalam Nation Building






Oleh: Siauw Tiong Djin
September 2007

Reuni URECA (Universitas Respublica) ke V yang diselenggarakan di Bandung pada awal bulan September 2007 memperkuat keyakinan bahwa URECA di masa hidupnya memainkan peranan penting dalam membangun bangsa Indonesia – Nasion Indonesia – sebuah nasion yang terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa.


Acara-acara sosial kesenian yang diadakan pada Reuni yang disinggung menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar peserta Reuni ini berasal dari komunitas Tionghoa, bahkan dari komunitas Tionghoa totok, ke-Indonesiaan para pengunjung sangat nampak dan tidak akan bisa dibantah oleh siapa-pun.

Ke- Indonesiaan yang dimaksud adalah merasakan dirinya seorang Indonesia, mencintai kebudayaan dan kesenian Indonesia, mencintai bangsa Indonesia dan menerima Indone sia sebagai tanah airnya.

Hal ini nampak dari berbagai pertunjukan paduan suara, nyanyian bebas, permainan angk lung, deklamasi, hingga tari-tarian bersama. Seseorang yang tidak mencintai Indonesia tidak akan bisa menjiwai kebudayaan Indonesia seperti yang ditunjukkan pada acara-acara yang disinggung di atas.

Benny Setiono yang kini aktif berperan di bidang politik menyatakan: "…acara ini benar-benar membawa nostalgia yang mengesankan. Rasanya kita ini seperti di URECA dulu, diajak untuk mencintai Indonesia…". Nancy Wijaya, yang juga tidak kalah aktifnya dalam kegiatan berbagai organisasi menyatakan: "…kepahaman tentang Indonesia dan kecintaan terhadap Indonesia bangkit setelah kami masuk ke URECA. Sebelumnya kami yang berasal dari sekolah-sekolah Tionghoa hanya fasih berbicara dalam bahasa Tiong hoa dan lebih mengenal kebudayaan Tiongkok. Masa kuliah di URECA merupakan masa yang sangat membahagiakan saya…".

Peranan URECA dalam sejarah Indonesia menjadi lebih bermakna bilamana kita mempe lajari asal usul kelahiran dan pengembangannya.

Universitas Respublica (yang mengandung pengertian Universitas untuk Kepentingan Umum atau Universitas yang berbakti untuk masyarakat) merupakan bagian penting Baperki – Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia.

Baperki didirikan pada tahun 1954 untuk melawan arus politik yang ingin menjadikan sebanyak mungkin WNI keturunan Tionghoa memiliki status hukum asing di Indonesia. Para pendirinya beranggapan bahwa Indonesia adalah tanah air komunitas Tionghoa di Indonesia dan komunitas Tionghoa adalah bagian yang tak terpisahkan dari tubuh bangsa Indonesia. Dengan demikian mereka menginginkan sebanyak mungkin orang Tionghoa yang lahir di Indonesia memiliki status hukum sebagai Warga Negara Indonesia.

Baperki-pun gigih memperjuangkan terwujudnya sebuah Nasion Indonesia -- bangsa Indonesia -- yang mengakui kehadiran dan mempertahankan keberadaan berbagai suku etnis termasuk suku Tionghoa. Nasion yang dimaksud tentunya tidak mengenal adanya Indonesian race, sehingga terminologi Indonesia Asli atau pribumi tidak memiliki arti hukum yang bisa dipergunakan untuk mendiskriminasikan komunitas Tionghoa.

Baperki mulai terlibat dalam bidang pendidikan pada tahun 1958, di waktu mana keluar kebijakan pemerintah yang melarang pelajar WNI bersekolah di sekolah-sekolah Tiong hoa. Sampai saat itu, karena sangat terbatasnya jumlah sekolah-sekolah negara yang bisa menampung siswa yang berasal dari komunitas Tionghoa dan adanya persepsi bahwa sekolah-sekolah negara memiliki kwalitas yang kurang memadai, sebagian besar siswa Tionghoa, baik yang WNI maupun WNA, belajar di sekolah-sekolah Tionghoa yg meng gunakan kurikulum bahasa Tionghoa. Sekolah-sekolah ini dikelola oleh organisasi-organi sasi Tionghoa yang pada umumnya berkiblat ke Tiongkok.

Peraturan yang disinggung dikeluarkan dan dilaksanakan tanpa pertimbangan adanya penampungan tempat di sekolah-sekolah yang ada sehingga menimbulkan keresahan di pihak para orang tua. Baperki mengambil inisiatip untuk berperan. Pimpinan Baperki dengan gerak cepat mencapai persetujuan dengan berbagai organisasi pengelola sekolah-sekolah Tionghoa di beberapa kota besar di pulau Jawa: kawasan sekolah-sekolah dibagi, sesuai dengan jumlah siswa yang WNI dan yang WNA. Kalau yang WNI berjumlah seki tar 30% dari jumlah total, sekitar 30% dari kawasan sekolah yang bersangkutan dijadikan sekolah Baperki, dengan kurikulum nasional. Ini menyebabkan dalam waktu "sekejap", Yayasan Pendidikan Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan, bisa memiliki ratus an sekolah, dari SD hingga SMA, yang mampu menampung ratusan ribu jumlah siswa, sebagian besar darinya berasal dari komunitas Tionghoa yang WNI.

Sadar akan pentingnya pendidikan dan adanya keinginan untuk menampung sebanyak mungkin siswa yg tidak memiliki kesempatan untuk belajar pada tingkat universitas melu lu karena latar belakang etnisitasnya, pada tahun yg sama Baperki mengambil inisiatip untuk mendirikan universitas, yg pada mulanya dinamakan Universitas Baperki di Jakarta. Pada mulanya kuliah dilakukan di gedung-gedung sekolah-sekolah Baperki di Jakarta.

Inisiatip ini mengundang dukungan luas dari komunitas Tionghoa. Sumbangan mengalir deras. Pada tahun 1959-1960, Siauw Giok Tjhan-pun menerima beberapa tawaran tanah yg bisa digarap untuk pembangunan gedung-gedung universitas, gratis.

Dua kawasan dipertimbangkan. Satu terletak di daerah yg kini dikenal sebagai Pluit, milik tokoh Tiong hoa yg ternama dan yg mengenal Siauw sejak zaman pendudukan Jepang, Tan Kah Kee. Yg lain terletak di kawasan Grogol, tanah yg dimiliki oleh DKI Jakarta, atas tawaran gu bernur Sumarno. Akhirnya Yayasan Pendidikan Baperki memilih tanah di Grogol.

Pemba ngunan gedung-gedung universitas Baperki dimulai pada tahun 1960, dimulai dengan gedung fakultas kedokteran gigi, disusul dengan gedung-gedung fakultas hukum, sastra, kedokteran dan teknik.

Yg menarik adalah untuk mempercepat dan mengurangi ongkos pembangunan, desain gedung-gedung tersebut dan pembangunannya juga dilakukan oleh para mahasiswa dan para dosen secara gotong royong.. Mungkin di dunia hanya Universitas Baperki yg meng ikutsertakan para dosen dan mahasiwa-nya dalam pembangunan gedung-gedung kuliah.

Sebagian gedung2 baru ini rampung pada tahun 1962. Dalam upacara peresmian pembu kaan gedung2 baru ini, nama Universitas Baperki diubah menjadi Universi tas Respublica yg lebih dikenal sebagai URECA.

Prestasi URECA sebagai badan pendidikan tingkat sarjana diakui. Untuk fakultas Kedok teran gigi dan teknik, ijasah URECA diakui oleh Departemen Pendidikan sebagai ijasah sarjana penuh. Pada tahun 1965, pengakuan untuk fakultas lainnya sedang diperjuangkan. Sayangnya sebelum tercapai, pergantian iklim politik pada Oktober 1965, secara dramatic mengubah posisi URECA.
Prinsip pendidikan Baperki dilaksanakan secara patuh, yaitu: pendidikan bukan barang dagangan. Yg mampu diminta untuk memberi sumbangan besar sedangkan yg tidak mam pu membayar sedikit atau bahkan gratis.

Dalam waktu yang bersamaan Yayasan Pendidikan Baperki mulai membangun kampus-kampus universitas-nya di beberapa kota besar di pulau Jawa. Jumlah mahasiswa juga kian meningkat hingga hampir 10 ribu pada tahun 1965.

Melalui institusi pendidikan inilah Baperki giat menyebarluaskan konsep nasion building dengan penekanan integrasi wajar, yaitu menjadi orang Indonesia sejati tanpa penanggal an ciri2 ethnisitas dan bahu membahu dengan suku lainnya membangun bangsa Indone sia.
Melalui dunia pendidikan ini, Baperki memberi pendidikan politik kepada para siswanya. Pendidikan yg mendorong mereka untuk secara sadar terlibat dalam berbagai kegiatan yg ber-orientasi ke Indonesia, demi Indonesia dan sebagai orang Indonesia.

Salah satu upaya efektif dalam membangkitkan kecintaan terhadap Indonesia berkaitan dengan kegiatan pengenalan kebudayaan Indonesia, terutama tari-tarian dan lagu2 Indo nesia. Acara2 kesenian yg kerap dipentaskan oleh para mahasiswa di kampus2 URECA mencerminkan bagaimana para pemuda pemudi keturunan Tionghoa telah menjiwai kebudayaan Indonesia. Bung Karno sering meminta penari2 Tionghoa yg memperoleh pengarahan Baperki untuk berperan di dalam acara2 resmi kenegaraan.

Karena institusi pendidikan ini diprakarsai dan dibentuk untuk menampung mereka yg ti dak memperoleh kesempatan belajar di tanah airnya sendiri, dan kelompok komunitas Tionghoa yang ditimpa kebijakan diskriminasi ini, sekolah-sekolah Baperki dan URECA dipenuhi oleh siswa Tionghoa. Cukup banyak yang berasa dari suku lainnya, tetapi mere ka merupakan minoritas kecil. Ini memang menimbulkan kesan bahwa Institusi pendidik an Baperki bersifat eksklusif, terbatas untuk komunitas Tionghoa saja.

Akan tetapi kegiatan2 yg disinggung di atas menunjukkan bahwa ke-eksklusifannya ter batas pada berkumpulnya sekelompok orang dari sebuah komunitas etnis. Makna per kumpulannya dan program politiknya berkiblat ke Indonesia. Yg berada dalam naungan ini diajak untuk mencintai dan berbakti untuk Indonesia. Institusi pendidikan Baperki, ter utama URECA dikerahkan untuk mendorong semua siswanya untuk memiliki kesadaran tinggi dalam membangun Nasion Indonesia.

Bilamana pada awalnya institusi pendidikan Baperki hanya mengakomodasi Warga Nega ra Indonesia, pada masa pengembangannya, cukup banyak mereka yang masih WNA dite rima. Alasan Baperki adalah mereka yang masih WNA ini perlu didorong untuk menjadi WNI dan menerima Indonesia sebagai tanah airnya.
Sayangnya kehadiran institusi pendidikan Baperki baik di tingkat sekolah dasar sampai atas, mapun universitas yg memiliki sumbangsih positif ini, berumur pendek. Perubahan iklim politik pada Oktober 1965 memojokkan posisi politik Baperki yg karena berbagai pertimbangan politik di masa polarisasi politik, memilih untuk berada di perahu kelom pok kiri yg kalah angin.
Pada tanggal 15 Oktober 1965, kampus URECA di Grogol diserang ribuan massa yg didu kung oleh kekuatan militer. Ratusan mahasiswa URECA yg kebetulan berada di kampus dengan gagah berani mempertahankan kampus-nya dan mampu bertahan selama lebih dari 30 menit. Karena jumlah penyerang jauh lebih tinggi dan mereka memperoleh du kungan bersenjata dari pihak militer, pertahanan patah dan kampus URECA dibakar.

Pada tahun 1966 pemerintah memprakarsai pengambil alihan URECA yg kemudian dina makan Universitas Trisakti. Pintu gerbang pendidikan universitas terbuka lagi dengan program pendidikan yg lain. Penekanan tentang nasion building yg berkaitan dengan pen didikan politik hilang. Dan Trisakti kemudian berkembang sebagai universitas swasta yg tidak bisa dijangkau oleh orang2- yg tidak mampu.

Walaupun berumur pendek, pendidikan politik yg ditanamkan di dalam benak para maha siswanya ternyata melekat. Cukup banyak mantan mahasiswa URECA memainkan peran an penting di berbagai organisasi, sosial maupun politik. Sikap ke Indonesiaan ini jelas nampak di acara Reuni URECA ke V dan acara-acara Reuni sebelumnya – lebih dari 40 tahun kemudian.
Trauma politik yg diderita para mahasiswa URECA cukup berat. Banyak diantaranya ma sih khawatir menunjukkan ke masyarakat bahwa mereka berhubungan dengan URE CA. Bahkan banyak yg tidak menceritakan ke para anaknya bahwa mereka itu mantan URECA. Dan tentu banyak pula yg tidak menceritakan apa itu URECA dan apa alasan hidup Baperki kepada para anaknya atau kerabatnya.

Rasa khawatir ini kiranya tidak lagi beralasan. Zaman sudah berubah. Kiri atau kanan sudah tidak menjadi persoalan yg perlu diperdebatkan. RRT sudah bergandengan tangan dengan negara2 barat yg pernah memusuhinya dalam kegiatan ekonomi di berbagai bidang dan tingkat.
Para mantan URECA hendaknya mulai giat mengajak anak dan cucunya untuk memiliki kesadaran yang mereka telah garap selama belajar di URECA: menganggap Indonesia se bagai tanah airnya dan berbakti untuknya.

Generasi muda perlu didorong untuk dengan aktif memperjuangkan lenyapnya rasisme di Indonesia, dimulai dengan pengubahan UU, peraturan pemerintah dan sendi-sendi hukum lainnya yang mengandung rasisme; diikuti dengan kegiatan yang menanamkan kesadaran di kalangan komunitas Tionghoa untuk mengintegrasikan dirinya dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi dan politik memba ngun Indonesia. Dan mengajak suku-suku lainnya dalam membangun Nasion Indonesia.

Kiranya inilah harapan mulia para pendiri Yayasan Pendidikan Baperki yg mengelola URECA dengan susah payah lebih dari 40 tahun yg lalu. Dan para mantan URECA memiliki moral obligation untuk memenuhinya.